Suatu hari di Stadion Ateh Ngarai,Bersama kiper Legend Asmawi Jambak “Macan Kumbang dari Bukittinggi”.

3 menit membaca
Efendi
News, Olahraga, Populer - 13 Nov 2025

Bukittinggi.Top – Di tengah sejarah panjang sepak bola Indonesia, nama Asmawi Jambak menempati tempat tersendiri. Ia bukan hanya penjaga gawang tangguh, tapi juga simbol dedikasi, kesetiaan, dan semangat pantang menyerah khas putra Minang.

Dari lapangan sederhana di Agam hingga pentas internasional bersama tim nasional, kisahnya adalah perjalanan seorang anak kampung yang menolak menyerah pada nasib.

Hal ini diceritakan kembali oleh Asmawi Jambak kepada Bukittinggi.Top,pada suatu sesi ungkap sejarah beliau, pada hari Kamis 13 November 2025,di stadion Ateh Ngarai kota Bukittinggi.

Latar Belakang dan Awal Karier

Asmawi lahir dan tumbuh di Nagari Gaduik, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Masa sekolahnya dijalani di ST (Sekolah Teknik) Negeri 1 Bukittinggi, di mana ia mulai jatuh cinta pada dunia sepak bola — terutama posisi penjaga gawang.

Tak ada pelatih profesional kala itu. Ia belajar secara otodidak, meniru gaya para kiper nasional dan internasional yang ia kagumi. Dari sana tumbuh tekad kuat untuk suatu hari berdiri di bawah mistar gawang dengan membela tim besar.

Langkah Awal: Dari PS Putra Remaja ke Arseto Solo

Karier sepak bolanya dimulai dari klub kampung PS Putra Remaja Gadut, yang ia dirikan bersama teman-teman sebaya. Tahun 1975, ia memperkuat PSA Bukittinggi, lalu hijrah ke Solok dua tahun kemudian untuk membela PS Praja Sakti, klub milik Pemerintah Daerah Solok.

Tahun 1979 menjadi titik balik besar. Berkat rekomendasi Drs. Alimin Sinapa, Asmawi mengikuti seleksi klub Arseto Solo — salah satu klub Galatama paling prestisius kala itu. Ia lolos, resmi bergabung pada 2 Mei 1979, dan memulai perjalanan panjangnya di dunia profesional sebagai kiper ke-4.

Bersinar di Arseto Solo

Debutnya datang pada 16 September 1979, saat Arseto melawan Jayakarta. Siapa sangka, dari situ kariernya melejit. Asmawi terus menunjukkan ketenangan, refleks cepat, dan insting tajam di bawah mistar. Ia kemudian dipercaya menjadi kapten tim Arseto Solo, sesuatu yang jarang terjadi bagi seorang penjaga gawang.

Kiprah Internasional dan Julukan “Macan Kumbang”

Nama Asmawi semakin dikenal luas ketika ia memperkuat tim Liga Selection PSSI di ajang King’s Cup di Bangkok. Di sana, ia tampil luar biasa, menahan imbang Thailand 1–1 meskipun lawan diperkuat bintang nasional seperti Piyapong.

Aksi heroiknya membuat media dan suporter menjulukinya “Macan Kumbang dari Bukittinggi” — simbol keperkasaan dan ketangguhan seorang kiper Minang di pentas internasional.

Tahun 1986, ia kembali mendapat kepercayaan untuk ikut pemusatan latihan (TC) PSSI di Brazil selama satu bulan, sebagai persiapan menuju Asian Games 1986 di Seoul, Korea Selatan. Di sana, ia menjadi bagian dari skuad nasional, mendampingi Ponirin Meka sebagai penjaga gawang cadangan. Meski bukan kiper utama, Asmawi tetap menunjukkan profesionalisme tinggi dan semangat kebersamaan yang luar biasa.

Pensiun dan Pengabdian Setelah Sepak Bola

Cedera pada akhir tahun 1986 menandai awal akhir kariernya sebagai pemain. Ia resmi pensiun dari Arseto Solo sekitar tahun 1989. Namun, semangatnya untuk sepak bola tak pernah padam.

Setelah gantung sarung tangan, Asmawi menempuh jalan sebagai pelatih dan pembina:

Pelatih kiper di berbagai klub, termasuk Arema FC.

Pembina sepak bola usia dini di Sumatera Barat, di antaranya PSKB Bukittinggi.

Pendiri SSB (Sekolah Sepak Bola) seperti SSB Tunas Gumanti di Alahan Panjang, tempat ia menyalurkan ilmunya kepada generasi muda.

Karakter dan Legasi

Asmawi dikenal karena loyalitas tanpa batas. Meski mendapat banyak tawaran dari klub lain, ia memilih tetap setia kepada Arseto Solo, klub yang telah membesarkan namanya. Julukan “Macan Kumbang” bukan hanya soal kemampuan menepis bola, tapi juga tentang keteguhan hati dan semangat juangnya.

Kini, meski masa keemasannya telah berlalu, warisan Asmawi Jambak tetap hidup — dalam bentuk semangat, keteladanan, dan dedikasi bagi perkembangan sepak bola tanah air. Bagi generasi muda, kisahnya menjadi pengingat bahwa legenda sejati tak lahir dari kemewahan, melainkan dari kerja keras, kesetiaan, dan cinta yang tulus pada permainan.(Fendy Jambak)

  • Wartawan:
    Efendi Jambak

    No KTA 12.3/BKTP/XI/2025
Bagikan Disalin

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *