
Bencana yang terjadi berturut-turut pada 22–27 November 2025 itu merusak jaringan transportasi di tujuh kabupaten/kota di Sumatera Barat: Padang, Padang Pariaman, Agam, Pesisir Selatan, Tanah Datar, Pariaman, Kabupaten Solok, serta Kota Solok. Sejumlah ruas jalan terputus. Jalur Lembah Anai—urat nadi pergerakan dari Bukittinggi dan Riau—lumpuh total akibat longsoran besar. Dengan situasi itu, Sitinjau Laut menjadi rute paksa bagi seluruh arus kendaraan.
Masalahnya, jalur ini sejak lama dikenal sebagai titik rawan: tanjakan ekstrem, turunan curam, dan jurang dalam membatasi ruang gerak. Ketika ribuan kendaraan dialihkan ke sana, kelebihan beban langsung berubah menjadi kemacetan permanen.

Hasil penelusuran di lapangan 9 Desember 2025,saat kami melakukan perjalanan dari Bukittinggi menuju kota padang yang tidak ada pilihan yang akan dilalui kendaraan roda empat ,melalui rute padang panjang-solok aro suka-Indarung, fenomena yang terjadi menunjukkan ini efek domino dari akses tunggal tanpa ada alternatif lain, kendaraan hanya bergerak dalam pola stop and go. Jika biasanya perjalanan Solok–Padang saja ditempuh satu setengah jam, kini waktu melayang hingga lima jam atau lebih. Ambulans yang membawa pasien gawat darurat pun kerap terperangkap berjam-jam tanpa jalan keluar.
Data dari petugas lapangan menyebutkan, tidak sedikit gangguan di jalur,sebuah truk mogok, truk CPO terguling dan menumpahkan minyak, atau sopir yang nekat mengambil jalur kanan,langsung menciptakan antrean panjang hingga beberapa kilometer. Tidak jarang, aksi saling serobot memicu adu mulut dan perkelahian.

Situasi Sitinjau Laut mengungkap ketidaksiapan manajemen lalu lintas menghadapi bencana yang skalanya telah diprediksi. Hujan intensitas tinggi pada November bukan fenomena baru. Kerentanan Lembah Anai terhadap longsor juga bukan rahasia,pertanyaan yang menggantung siapa yang mengatasi hal seperti ini jadi tanya Tanya besar
Namun, ketika bencana benar-benar menghantam, tak ada skenario alternatif yang siap dijalankan. Jalur yang sejak awal tidak layak menampung volume kendaraan besar tiba-tiba dipaksa mengambil seluruh beban provinsi.
Suara warga yang ditemui dalam kemacetan menyuarakan hal serupa: “Seolah-olah kita dibiarkan mencari jalan sendiri,” kata seorang pengemudi travel yang sudah tiga hari bolak-balik tanpa kepastian.
Bagi pegawai yang bekerja lintas kota, kemacetan Sitinjau Laut bukan hanya soal waktu terbuang. Kinerja terganggu, biaya operasional melonjak, dan tekanan mental meningkat. “Kami jadi hidup berdasarkan tebakan. Tidak ada yang tahu jam berapa bisa sampai,” ujar seorang pekerja yang tiap hari bolak-balik Padang–Solok,semua ini bermuara produktivitas warga terkikis.
Dalam berbagai kesempatan, pemerintah daerah menyampaikan tengah mengevaluasi rute alternatif dan percepatan penanganan titik-titik longsor. Namun hingga kini, Sitinjau Laut tetap menjadi satu-satunya jalur yang harus dipaksa berjalan, meski kondisinya sudah jauh dari ideal.
Pertanyaan besar pun menggantung: sampai kapan warga mesti menanggung keterlambatan, tekanan, dan pertaruhan keselamatan di jalur yang bahkan dalam kondisi normal tidak pernah benar-benar aman?
Sementara jawaban belum terlihat, Sitinjau Laut terus mengular. Mesin terus menyala. Dan kemacetan itu, seperti bencana yang memicunya, belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti.(afrizal soedarta)

dirgantaraku.com | jamgadangnews.com | bukittinggi.top | redakta.xyz | sentral.cfd | bukittinggiku.my.id
Tidak ada komentar